Roh-roh lembah pun terbakar
Dan harum melati
Tampak layu di atas nisan tua
Para dewa terbang bersinggah
Menitip warna
Dengan loncatan tangis mengusung luka
Pada lobang-lobang tanah tak berbudi
Suara itu senyap
Senyap sekali ...
Ketika angin lembut
Menyisir keping melati emas
Harumnya masih tersisa anyir
Tak sedap dirongga pernafasan
Nelayat dirinya bermata hitam
Asap kemenyan tetap menjadi dawai
Nyanyian tahlil gila di halaman depan
Menggundang kabur hiruk pikuk
Apa yang tersisa?
“Tercipta di atas batu nisan tua pada dewa”
(Es Sulhan AQ; Karduluk Pragaan, Sumenep)